Malam itu sehabis sorogan kitab, Mahbub
dihampiri oleh Nirman seorang santri yang ikut di rumah kiai. Dengan
setengah berbisik ia berkata: "Bub, kamu dapat salam dari mbak Najwa.."
Hati Mahbub agak tersentak, "Ah, yang benar.." katanya sambil menatap mata Nirman sahabatnya itu dengan seksama.
"Sungguh, mbak Najwa sendiri yang menyampaikannya,
jarang-jarang aku ketemu dia.. bahkan kalau sedang papasan pun nggak
pernah dia menyapaku. kayaknya dia ada hati sama kamu, Bub.." Kata
Nirman pula.
Terbayang oleh Mahbub wajah manis Najwa putri kiai
itu, gadis agak pemalu yang cenderung cuek. Hatinya selalu bergetar
bilamana pandangannya beradu dengan kerling mata gadis itu.
Dia menghela nafas panjang, "Aah.. perbedaan terlalu jauh Nir.. dia seorang putri pingitan, aku hanyalah orang biasa.."
"Hari gini kamu bicara status?" sanggah Nirman.
"Aku tidak bicara soal asmara belaka, apalah artinya cinta yang tidak direstui? Bagiku cinta sesaat hanyalah sia-sia.."
"Terlalu pesimis kamu, Bub.."
"Jangan ingkari fakta Nir.. meski masyarakat sudah maju, tapi soal
status kayaknya masih menjadi prioritas..apalagi menyangkut keluarga
kiai kita. Kita tidak bisa menggugat kenyataan ini karna memang
perjodohan itu menggabungkan dua keluarga besar, bukan cuma sebatas
antara dua insan yang dilanda asmara.."
"Tapi mendapat perhatiaanya itu sesuatu banget loh.."
"Iya juga sih.. tapi, jangan-jangan itu hanyalah iseng belaka.." katanya dengan senyum hambar.
Hingga menjelang tidur, Mahbub masih terbayang pada Najwa gadis yang
memang sering menjadi perhatiannya itu. Perjumpaan yang walaupun sekilas
dengannya selalu mempunyai arti spesial. Wajah lembut manis serta aura
cahayanya menimbulkan kesan amat indah di hatinya. Gerak-geriknya
menjadi semacam magnit yang selalu menarik perkatiannya.
Kemudian ia terbayang pula pada kiai Muhsin abah dari Najwa, yang juga
pengasuh Pesantren tempat ia menimba ilmu, adalah seorang kiai
karismatik dan disegani. Para santri dan masyarakat sekitar sangat
menghormati beliau. Lembaga Pendidkan Pesantren yang beliau pimpin
berkembang cukup pesat, meskipun murni swadaya dari masyarakat dan wali
santri. Pernah suatu ketika ada seorang pejabat daerah yang datang ingin
menyumbangkan dana cukup besar, namun kiai Muhsin menolaknya secara
halus, mungkin beliau mencium adanya gelagat tendensi tertentu.
Kembali ia teringat pesan salam yang disampaikan sahabatnya itu. Ingin
sekali ia bertemu Najwa dan menanyakan apa arti pesan itu. Akan tetapi
sepertinya itu mustahil, karena ketatnya peraturan pesantren. Bila ada
santri putra dan putri ketahuan berkhalwat (berduaan di tempat sepi),
maka tentu akan disidang di rumah kiai, dan itu menjadi momok bagi parta
santri. Apalagi berhubungan dengan putri kiai.
Tapi ada
semacam dorongan amat kuat dalam hatinya untuk mengtahui arti salam dari
Najwa. Sesuatu banget apabila gadis itu benar-benar menaruh hati
padanya.
"Ah, astaghfirullah.." desahnya saat tersadar dari
lamunannya. Ia menyadari bahwa tulul amal (panjang angan) hanyalah
sia-sia dan merugikan diri sendiri. Baginya, beban fikiran maupun beban
hati hanya akan menjadi penghambat perkembangan pribadinya. Dan seperti
biasa bila datang rasa kuatir atau gelisah mengganggu hatinya, maka ia
segera mngkonversinya menjadi doa permohonan, semoga semua senantiasa
baik selalu. Hanya Tuhan lah yang Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi
hamba-Nya.
Keesokan harinya waktu jam istirahat, Mahbub sengaja
duduk di teras kampus sambil membuka-buka sebuah buku. Ia ingin mencari
sebuah jawaban tentang arti dari salam Najwa semalam. Ia tahu Najwa
selalu lewat di situ untuk pulang ke rumahnya saat istirahat bersama
seorang sahabatnya.
Najwa dua tingkat di bawahnya, sedangkan ia
sendiri menempuh semester akhir. Di pesantren itu untuk tingkat
perguruan tinggi memang santri putra dan putri kuliah dalam satu kampus.
Sedangkan untuk tingkat-tingkat di bawahnya sekolah putra maupun putri
mempunyai lokal tersendiri.
Dengan membuka-buka buku yang entah
karuan apa yang dibacanya, Mahbub duduk agak gelisah. Hatinya berdebar
menanti sebuah jawaban, atau paling tidak isyarat yang dapat dibaca dari
raut manis wajah Najwa itu..
Akhirnya ia melihat Najwa sedang
berjalan ke arahnya untuk pulang ke rumah bersama seorang sahabatnya. Ia
pura-pura serius membaca buku sambil sesekali memandang sekeliling.
"Ehm.. ehm.. " terdengar sahabat Najwa itu batuk-batuk kecil ketika
mereka semakin dekat ke arahnya. Iapun mengangkat muka, "Duh..ya
Tuhan.." bisiknya dalam hati, ketika sesaat terpaut tatapan mata Najwa
yang sedang tersenyum. Tatapan matanya terasa begitu lembut menyentuh
lubuk hatinya, dan senyum manisnya itu terlukis amat indah di hatinya..
Ia tertegun sejenak, ingin sekali ia menghampiri dan berjalan di
sampingnya. Tapi entah mengapa, di lingkungan pesantren ini menjadi
semacam tabu seorang santri putra berdekatan dengan santri putri,
mungkin karena pengaruh wibawa dari kiai Muhsin.
Ingin ia bertanya tentang salam yang ia terima semalam, tapi rasanya itu sesuatu yang konyol. "Em.. pada mau ke mana nih.. ".
"Biasa, ke rumah.. eh, rajin amat ya.." kata Najwa sambil terus berjalan dan, lagi-lagi dengan senyumnya yang teramat manis.
Ada terbersit rasa malu dalam dirinya, karena memang tidak biasanya ia
duduk di situ, dan senyum itu seolah sangat memahami bahwa ia memang
sengaja di situ untuk mencari sebuah jawaban.
"Oh, enggak.. lagi bete aja.. " jawab Mahbub sekenanya.
"Optimis aja lah.. " kata Najwa sambil terus berjalan, diiringi lagi oleh batuk-batuk kecil dari sahabatnya itu.
Hatinya berdebar, sepotong kata Najwa itu sepertinya menjadi semacam
kode jawaban atas pertanyaan yang mengganjal di hatinya. Tapi rasanya
masih terlalu pagi untuk mengambil satu kesimpulan.
Ia merasa
geli sendiri dengan apa yang ia alami. Bila di luar sana terasa sangat
mudah untuk sekedar mencari jawaban dari seseorang yang ditaksir. Cukup
dengan SMS atau telefun, akan segera mendapatkan kepastian. Tapi ia
tidak menggugat ketatnya peraturan pesantren. Ia menyadari bahwa
pergaulan yang cenderung bebas antara muda dan mudi akan lebih banyak
menimbulkan efek negatif. Justru di tempat ini ia lebih merasakan adanya
kesakralan 'cinta', walaupun ia belum tahu pasti apakah Najwa
benar-benar ada hati terhadapnya.
Sehabis belajar di malam hari
ia memotong secarik kertas dengan rapi, kemudian dengan hati-hati ia
membubuhkan tulisan di atasnya, "HANYALAH PUNGGUK MERINDUKAN BULAN",
disertai sebuah tanda tangan. "Biar besok disampaikan oleh Nirman.."
katanya dalam hati. Kemudian ia melipatnya pelan-pelan dan memasukkannya
ke dalam buku. Agak tenang rasanya telah mendapatkan cara untuk
mengetahui isi hati Najwa.
Keesokan harinya sepulang kuliah ia
menemui Nirman dan mengajaknya jalan-jalan. "Aku butuh bantuanmu Nir.."
katanya pada sahabatnya itu.
"Apa yang bisa aku bantu?" tanya Nirman.
"Soal rahasia, dan aku benar-benar ingin kau menjaga rahasia itu.." jawabnya dengan suara pelan.
"Tentang mbak Najwa ya.." kata Nirman sambil tersenyum simpul.
"Sst.. pelan-pelan, kalau ada yang mendengar bisa-bisa aku diusir dari
pondok ini.." katanya sambil menatap tajam sahabatnya. Selanjutnya ia
bertanya, "Apa kau bisa memberikan sesuatu kepadanya tanpa ada orang
lain tahu?"
"Apa itu?" Nirman balik bertanya.
"Hanya sepotong kertas kecil.." jawabnya.
"Oh, beres.. ada mbok dapur yang sepertinya menjadi kepercayaan mbak
Najwa. Bahkan waktu dia titip salam itu, mbok dapur itulah yang
menyuruhku ke teras samping untuk menemui mbak Najwa..." kata Nirman
pula.
Kemudian Mahbub menyodorkan lipatan kertas yang
ditulisinya semalam, "Tolong sampaikan ke dia, aku percaya kamu bisa
menjaga rahasia ini.."
"Insya Allah, Bub.." kata Nirman sambil memasukkan lipatan itu ke sakunya.
Sehabis menitipkan tulisan itu dalam hati Mahbub muncul sebersit
kecemasan, andai saja kiai sampai tahu tentang pesan tulisan ke Najwa
itu mungkin saja beliau akan marah besar, dan itu akan menjadi
malapetaka baginya. Bisa-bisa ia terusir dari pondok dan mungkin akan
sia-sialah ketekunannya bertahun-tahun menimba ilmu di pondok ini.
Karena ia mempercayai bahwa kemurkaan kiai mungkin saja disertai doa
sehingga ilmunya menjadi tidak bermanfaat.
Hari-hari berikutnya
ia lalui dengan gelisah, doa dan dzikir yang banyak ia baca tidak bisa
sepenuhnya menenangkan hatinya. Di kampuspun ia sengaja menghindar dari
berjumpa dengan Najwa, ada semacam rasa malu dalam dirinya karena pesan
yang ia sampaikan itu. Dan setiap kali ia bertanya ke Nirman, maka
jawabnya hanyalah, "Belum ada respon.."
Setelah cukup lama
menanti, akhirnya suatu malam sehabis sorogan kitab, Nirman
menjumpainya, "Bub, ada pesan yang kau tunggu di dalamnya.. aku tidak
tahu apa isinya, dan nanti jangan lupa kembalikan bukunya,," kata Nirman
setengah berbisik sambil menyodorkan sebuah buku kepada Mahbub.
Dengan berdebar-debar ia menerimanya, "Makasih, ya.." katanya sambil bergegas menuju kamarnya.
Muncul tanda tanya dalam hatinya, tentang isi dari pesan itu. Di dalam
kamar yang berisi sepuluh santri itu, ia kemudian menuju almarinya dan
membuka buku itu di dalam almari yang terbuka, sehingga tidak ada teman
yang memperhatikannya. Oh, ada sebuah amplop kecil putih bersih yang
dilem rapi. Sekilas semerbak harum tercium dari amplop itu, dan dengan
hati berdebar ia pelan-pelan membukanya.
Ada sepotong kertas
kecil di dalamnya, dan ketika ia mengeluarkannya maka aroma harum itu
semakin semerbak. "REMBULAN AKAN TURUN MENEMUI ARJUNA", demikian tulisan
yang ada di kertas itu dengan sebuah tandatangan rapi di bawahnya.
Oh, betapa berbunga-bunga hati Mahbub saat itu, terasa sekali hatinya
yang belakangan ini beku menjadi mencair kembali, "Alhamdulillah.."
desahnya tanpa sadar.
"Dapat apa Bub.." sahut teman yang mendengarnya.
"Ah, ini.. berhari-hari aku nyari baru ketemu.." katanya sambil memasukkan kertas itu ke dalam amplop dan menyimpanya rapi.
Hatinya sangat bersyukur, Najwa yang belakangan ini telah menyita
hampir seluruh perhatiannya ternyata juga menaruh hati padanya. Ia
segera menyiapkan sebuah pesan balasan untuk mengekspresikan hatinya
yang sedang berbunga itu. Kembali ia memotong kertas dari buku
catatannya, seperti yang ia lakukan sebelumnya. Ia tidak mau menuliskan
pesan yang panjang dan memasukkannya ke dalam sebuah amplop tertutup.
Baginya, rangkaian beberapa katapun sudah cukup untuk mengungkapkan isi
hatinya.
Ia menyadari bahwa
hal sensitif seperti ini tidak akan bisa sepenuhnya terjaga
kerahasiaannya. Sepandai-pandai Nirman menyimpan rahasia, suatu saat
tentu akan bocor juga kepada teman dekatnya, yang biasanya disertai
sebuah pesan, "Ini rahasia, jangan bilang kepada siapapun.." Maka akan
bisa menyebar secara berantai walaupun dengan bisik-bisik. Tapi ia tidak
memperdulikan lagi, keindahan rasa hatinya lebih dari semua itu, dan
apa yang ia lakukan pun tidak secara jelas melanggar peraturan pondok.
Kemudian ia mulai menulis di atas kertas yang telah disiapkannya,
"INDAH WANGI BUNGA TELAH MENCAIRKAN ES YANG MEMBEKU" dan membubuhkan
tanda tangan di bawahnya.
Demikianlah, semenjak itu terjalinlah
hubungan asmara rahasia antara dia dengan Najwa putri kiai. Nirman
dengan setia menjalankan tugas sebagai kurir. Walaupun pesan-pesan di
antara mereka hanya berupa rangkaian beberapa kata, namun itu sudah
cukup untuk saling memahami isi hati masing-masing. Ia tetap menyimpan
rapat hubungannya itu, bila ada teman yang mempertanyakannya maka ia
hanya menjawab, "Ah, jangan mudah percaya isu..".
Mahbub
menjalani semua aktifitas dengan lebih bersemangat, baik dalam belajar
maupun tugas kepengurusan pondok yang ikut diembannya. Hingga akhirnya
sampailah saat kelulusan di kampus pesantren itu. Ayahnya berpesan,
bahwa bila telah selesai wisuda ia diminta segera kembali pulang untuk
ikut serta menyebarkan syiar dakwah di daerahnya.
Rasanya ia
dihadapkan pada buah simalakama. Ada dua pilihan yang sama-sama berat.
Ingin sekali ia memenuhi permintaan ayahnya untuk dakwah di daerahnya,
sebagaimana niat mula-mula dulu saat memasuki pesantren ini. Namun di
lain pihak ia ingin sekali tetap tinggal di pondok, mengabdikan diri
mengajar di sekolah yang ada seperti beberapa teman seniornya, yang
sebenarnya adalah agar ia tetap bisa berdekatan dengan Najwa kekasih
rahasianya.
Pernah suatu kali ia berterus terang kepada ayahnya
tentang hubungannya dengan putri kiai itu, tapi ayahnya menjawab, "Ah,
jangan mimpi kamu.. carilah gadis yang sepadan dengan kita.."
Jawaban ayahnya itu menimbulkan keperihan yang dalam di hatinya, saat
membayangkan bila akhirnya ia harus berpisah dari Najwa. Tapi semua ia
kembalikan pada Yang Kuasa dan selalu memanjatkan doa ke hadirat-Nya
agar diberi jalan terbaik untuk dirinya.
Tepat sehari setelah
wisuda, di pagi hari ia menerima pesan mendebarkan yang disampaikan
sahabatnya Nirman, bahwa nanti sehabis jama'ah ashar kiai Muhsin
memanggilnya untuk datang ke rumah.
Tentu ada sesuatu yang
bersifat pribadi, pikirnya. Bila berkaitan dengan pondok pastinya juga
akan memanggil pengurus-pengurus yang lain. Iapun segera mempersiapkan
diri sebaik-baiknya, untuk menghadapi apapun yang akan disampikan oleh
kiai nanti.
Sehabis jama'ah ashar ia berpakaian rapi dan dengan
hati berdebar ia berjalan menuju rumah kiainya. Sebenarnya bukan sekali
dua kali ia datang ke rumah kiai, tapi kali ini ia khusus dipanggil
untuk sesuatu yang belum diketahuinya. Apalagi mengingat hubungannya
dengan Najwa, maka debar hatinya tak bisa ia hilangkan.
Sesampainya di rumah kiai ia dipersilahkan masuk ke ruang dalam, yang
membuat hatinya semakin dag-dig-dug lebih kencang lagi. Suasana ruang
dalam itu angker, tapi menyejukkan. Baru kali ini ia duduk berdekatan
secara khusus dengan kiai Muhsin. Pancaran wibawanya sangat terasa, nada
bicaranya datar akan tetapi seakan menembus ke hati pendengarnya.
"Begini nakmas.. " kata kiai Muhsin membuka pembicaraan, "Kemarin
setelah Ayahmu mendampingi acara wisudamu, ia berkunjung ke sini. Di
samping untuk silaturrahmi, seperti yang sesekali ia lakukan, ia juga
sekalian meminta izin untuk mengajakmu pulang kembali ke daerahmu." kata
kiai berhenti sejenak mempersilahkan Mahbub mencicipi hidangan yang
ada.
"Aku salut dengan ayahmu itu, walaupun awam dalam agama,
tapi amat teguh dalam berprinsip.. Sudah jarang-jarang orang seperti
Ayahmu itu.. Sebenarnya aku mengharap kau mengabdi di sini untuk ikut
serta menjaga kelangsungan pondok ini, mengingat prestasimu yang cukup
bagus juga ketekunanmu dalam menjalankan tugas-tugas kepengurusan. Tapi
daerah asalmu lebih memerlukanmu, maka aku hanya ikut mendoakan semoga
ilmu-ilmu yang telah kau peroleh di sini bisa bermanfaat untuk kemajuan
daerahmu"
"Amiin kiai, doa restu kiai senantiasa saya harapkan.." jawabnya dengan suara rendah.
"Selain itu aku ingin bertanya padamu.." kata kiai itu sambil menatap
tajam ke arahnya. Tak kuasa ia beradu pandang dengan kiainya itu, yang
mempunyai sorot mata seakan bisa membakar jantungnya, maka ia segera
menundukkan mukanya.
"Apakah kamu punya hubungan khusus dengan
anakku Najwa?" Tanya kiai dengan suara yang tetap datar, namun terasa
menghunjam ke pusat jantungnya, membuat ia tercekat sejenak.
"Maafkan kelancangan saya kiai.." jawab Mahbub dengan suara yang semakin rendah.
"Begini.. Aku disambati oleh putriku itu mengenai dirimu. Aku tidak
tahu bagaimana kamu berhubungan dengan putriku, dan aku juga tidak ingin
mengetahuinya.. yang jelas tidak kudengar adanya pelanggaran dalam
hubunganmu itu dan anakku pun tidak kurang suatu apa.." kata kiai itu
pula.
"Aku melihat kamu mempunyai pribadi bagus.. jiwa
perjuanganmu pun cukup. Bila memang kamu ada jodoh dengan anakku, maka
aku sebagai orang tua hanya bisa memberikan doa restu.."
Mendengar kata-kata kiai ini, Mahbub serasa mandapat siraman embun yang
menyejukkan hati dan sekujur jiwanya. Terjawab sudah keragu-raguannya
selama ini tentang kelanjutan hubungannya dengan Najwa. Walaupun ia
telah yakin akan perasaan Najwa terhadapnya, namun tentang perbedaan
status tetap menjadi ganjalan baginya. Tak terlukiskan rasa bahagia
hatinya, ketika cinta kasihnya telah mendapatkan restu.
"Satu
anugerah sangat besar bagi saya kiai.. saya sangat berterimakasih atas
kemurahan hati kiai, doa dan restu kiai senantiasa sangat saya
harapkan.." kata Mahbub dengan ta'dhim.
"Baiklah, nanti
setelah Najwa menyelesaikan kuliahnya kamu bisa mengajak ayahmu ke sini
untuk membicarakan perjodohanmu." kata kiai Muhsin, "Dan nanti sebelum
kamu pulang ke daerahmu, kamu boleh bertemu dengan Najwa di sini di
ruangan ini." kata kiai menutup pembicaraannya.
Begitu kembali
di kamarnya Mahbub langsung melakukan sujud syukur. Tidak ada kata
maupun gambaran yang dapat mengungkapkan keadaan hatinya saat itu. Ia
menumpahkan luapan bahagia hatinya dalam sujud itu dengan memanjatka
rasa syukur ke hadirat-Nya, yang telah mengabulkan doa permohonannya
selama ini.
Beberapa hari kemudian, setelah berpamitan kepada
kiai Muhsin, ia diberi kesempatan untuk bertemu dengan Najwa di ruangan
dalam rumah kiai. Baru sekali itulah ia duduk berhadapan, bertatap muka
dan bercakap tentang hubungannya selama ini. Ia juga disuguhi kue-kue
yang khusus dibuatkan Najwa untuknya. Terasa semakin memperkokoh rasa
bahagia yang ia dapatkan belakangan ini.
Ketika ia berpamitan,
Najwa menyodorkan lipatan kertas kecil seperti yang biasa ia terima
lewat Nirman, "Aku hanya bisa memberikan ini.. dan kayaknya nggak perlu
amplop lagi kan?" katanya sambil tersenyum.
Mahbub membukanya dan iapun tersenyum, ternyata sebuah nomor HP "Oh, ini lebih dari segalanya.. terimakasih"
Demikianlah, akhirnya Mahbub pulang ke daerah asalnya dengan hati yang diliputi rasa bahagia dan syukur. ***